Hari ini rasanya hati sedikit mellow, memulai aktivitas partime
job dari jam 6 pagi, lanjut dengan serangkaian eksperimen mengisolasi stem cell
dari sel testis sapi, kemudian menjelang Isya diskusi cukup menguras otak dan
perasaan dengan Pak Guru. Cukup lelah, tetapi masih belum seberapa jika dibanding
kelelahan Ibuku, seorang pekerja keras sejati bagiku.
Setiap hari beliau bangun sebelum subuh, jam 4 pagi, bahkan
seringnya sebelum itu. Beliau segera menyiapkan sarapan untuk kami, anak-anaknya,
memastikan agar kami dapat menyantap sarapan ala kadarnya untuk memulai hari.
Segera setelah subuh beliau berangkat ke pasar berbelanja barang-barang yang
akan di jual di warung kecil milik keluarga kami. Harus sepagi itu, demi
mendapatkan sayur yang lebih segar dan lebih beragam. Dari warung inilah ibu
bertekad untuk mewujudkan mimpinya: MENYEKOLAHKAN ANAK-ANAKNYA SEMAMPUNYA,
beliau dulu tidak punya kesempatan untuk mengenyang pendidikan. Ibu tidak
pernah berharap dapat menumpuk materi dari warung kecilnya, Ibu hanya ingin
memastikan agar anak-anaknya dapat sekolah. Sepulang dari pasar sekitar pukul
07.00-08.00 beliau tidak langsung istirahat, melainkan mulai membuka warungnya
dan mulai berjualan hingga menjelang maghrib. Begitu rutinitas beliau setiap
hari sampai sekarang. Usiaku sudah 31 tahun, tetapi rasanya aku tidak ingat
kapan beliau memulai rutinitas tersebut, sudah berjalan puluhan tahun. Hebatnya
lagi beliau menyekolahkan anak-anaknya hanya untuk jadi pintar, bukan jadi
kaya. Meskipun keluarga kami sangat
sederhana, ibuku tidak “berdagang’ dalam menyekolahkan anak-anaknya.
Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak itu agar menjadi pejabat, pemimpin,
dan hal lain yang bernuansa materiil untuk masa depannya. Tetapi Ibuku hanya
berpikiran menyekolahkan anak supaya pintar. Terserah mau jadi apa saja nantinya
kalua sudah selesai sekolah, bahkan jika nantinya anaknya mau berjibaku dengan
lumpur nyangkul disawah pun tidak masalah. Yang penting tukang nyangkul yang “pintar”.
Bahkan ketika dulu aku senang mengutarakan cita-cita, ibuku selelu bilang “aja
kegeden jangkah” (jangan terlalu bermimpi) cukup saja sekolah yang bener toh
nantinya segala sesuatunya akan ikut dengan sendirinya “Gusti Allah ora
sare/Allah tidak tidur”, kalimat retoris orang tua jawa.
Hal lain di antara ribuan memori tentang ibu, yang masih sangat
kuingat dipikiranku yaitu ketika anak-anaknya hendak melakukan
kesalahan-kesalahan seperti ingin mengambil hak orang lain. Ibuku selalu
menakut-nakuti dengan kalimat “aja! Mengko diomehi Gusti Allah/ jangan, nanti
dimarahi Allah”. Bukan dengan kalimat “ jangan nak nanti ayah marah, jangan nak
nanti pemiliknya marah, atau kalimat lain yang menunjukan ketakutan terhadap
makhluk”. Beliau tidak mengenal ilmu parenting, tidak juga memiliki ilmu agama
yang mumpuni, tetapi beliau paham bahwa Allah itu Maha Tahu, sehingga dimanapun
anaknya nanti berada akan selalu takut akan murka Allah jika ingin mengambil
hak orang lain.
Sekarang, sepertinya mimpinya tidaklah hanya sekedar mimpi, mulai jadi kenyataan. Anak laki-lakinya sedang menyelesaikan program doctor di
Kyoto University Jepang (teriring do’a Ibu semoga akan terselesaikan). Dan anak
perempuannya juga sedang menyelesaikan program S1- nya di Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto. Untuk orang-orang yang sudah terlahir nyaman, tentunya
pencapaian seprerti ini itu hal biasa. Tapi bagi kedua orang tua kami, hal ini
sudah sangat jauh melampai batas mimpi mereka.
Dihari ibu ini ingin rasanya pulang dan mencium kaki ibu,
menceritakan kisah bahagia keluarga kecilku, mempertemukannya dengan
cucu-cucunya yang sedang bertumbuh. Membiarkannya menikmati kegembiraan bersama
cucu-cucunya. Tetapi itu tidak dapat kulakukan, kami terpisah jarak ribuan
kilometer, hanya sesekali terhubung lewat telpon seluler atau koneksi internet
ketika ada yang mengkoneksikan.
Ibu, anakmu rindu….
Kyoto, 22 Desember 2015