Showing posts with label Infotek. Show all posts
Showing posts with label Infotek. Show all posts

Monday, 10 June 2019

Revolusi Pertanian 4.0: Modernisasi Sektor Pertanian

Sejak dipopulerkan oleh Klaus Schwab lewat bukunya, The Fourth Industrial Revolution, istilah Revolusi Industri 4.0 menjadi penanda untuk datangnya era baru. Industri 4.0 adalah industri yang dioptimasi melalui penciptaan model bisnis baru dan disrupsi atas sistem produksi, distribusi dan konsumsi untuk mencapai tujuan dan nilai-nilai kebaikan kolektif bagi seluruh umat manusia (Schwab, 2016). Model bisnis baru tersebut didukung dengan teknologi baru seperti berbasis internet (internet of things), super kom­puter (artificial inteligence), kendaraan tanpa pengemudi (human-machine interface), teknologi robotik (smart robotic) serta teknologi percetakan tiga dimensi (3D printing).
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, pertanian sebagai sektor yang diandalkan dalam memenuhi keter­sediaan pangan harus mampu beradaptasi dan merespon tren global dengan emanfaatkan teknologi digital berbasis internet guna mendukung ketahanan pangan. Oleh kerena itu munculah istilah Revolusi Pertanian 4.0., dimana pertanian diharapkan melibatkan teknologi artificial intelligence, robot, internet of things, drone, blockchain dan big data analitik untuk menghasilkan produk pertanian yang unggul, presisi, efisien, dan berkelanjutan.
Kegiatan on farm pada Pertanian 4.0 tidak lagi tergantung pada proses pengairan, pemupukan, serta aplikasi pestisida secara seragam dalam satu lahan, tetapi petani lebih akan menggunakan jumlah yang tepat dan terukur untuk setiap area spesifik yang dikenal dengan pertanian presisi (Precission Agriculture) . Hal ini memungkinkan petani untuk menanam pada lahan yang sempit maupun kurang produktif akibat dari kelangkaan sumberdaya alam, perubahan iklim, serta kondisi demografi (peningkatan jumlah penduduk). Pertanian modern akan menerapkan teknologi terkini baik untuk sensor, mesin, alat, maupun distribusinya. Menurut De Clercq et. al. (2018) dalam laporan dari World Government Summit tentang “Agriculture 4.0: The Future of Farming Technology” menyebutkan bahwa ada beberapa teknologi dalam Pertanian 4.0 yang dapat menjadi solusi bagi kelangkaan pangan dimasa yang akan datang, diantaranya dilihat dari aspek:

Produk yang dihasilkan secara berbeda dengan teknik baru

Beberapa teknik produksi pertanian terbaru yang sudah berkembang diantaranya: teknik budidaya hidroponik, budidaya alga sebagai bahan pangan, pertanian gurun dan pertanian dengan air laut, serta pengemasan makanan menggunakan bioplastic.

Peningkatan efisiensi rantai distribusi dengan memproduksi bahan pangan dekat dengan konsumen

Cara ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi, diantaranya dengan teknologi: vertical dan urban farming, modifikasi genetik, daging hasil kultur jaringan, dan percetakan tiga dimensi dalam teknologi pangan.

Menggabungkan teknologi industry dan aplikasinya

Beberapa hal yang menjadi kunci penerapan teknologi industry dalam bidang pertanian diantaranya: Internet of Things (IoT), Otomatisasi tenaga kerja, pertanian berbasis data (big data), chatbot atau asisten virtual. Dari kunci teknologi tersebut maka tercipta beberapa aplikasi teknologi dalam bidang pertanian meliputi: 1) teknologi drone untuk analisis tanah, penanaman, penyemprotan pupuk dan pestisida, monitoring tanaman, irigasi, identifikasi status kesehatan tanaman; 2) Blokchain untuk menjamin kemananan transaksi petani serta mengurangi ketidak efisienan dalam proses transakasi produk-produk pertanian; 3) nanoteknologi dan pertanian presisi; 4) sharing dan crowdfarming (kelompok).

Referensi

  1. Schwab, K., 2016. The Fourth Industrial Revolution. World Economic Forum, Geneva Swizterland.
  2. Matthieu De Clercq, A. Vats, A. Biel. 2018. Griculture 4.0: The Future of farming Technology. World Government Summit in collaboration with Oliver Wyman.

Wednesday, 11 May 2011

PENGOLAHAN FISIK KULIT UBI KAYU SEBAGAI PAKAN TERNAK


Salah satu jenis tanaman pangan yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh petani yaitu tanaman ubi kayu. Pemanfaatan ubi kayu sebagai pakan ternak sudah banyak dilakukan di Indonesia, mulai dari pemanfaatan daun ubi kayu sampai dengan umbi dari ubi kayu tersebut. Namun, pemanfaatan umbi dewasa ini masih bersaing dengan kepentingan manusia apalagi ubi kayu saat ini dapat dibuat menjadi bio etanol yang merupakan bahan bakar alternatif.
Salah satu sumberdaya lokal potensial yang belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan tidak bersaing dengan manusia yaitu limbah kulit ubi kayu yang merupakan limbah dari mata rantai proses produksi pembuatan tapioka. Limbah tersebut sebaiknya dalam keadaan kering (dijemur) atau ditumbuk dijadikan tepung tetapi salah satu faktor penghambat dalam penggunaan limbah kulit ubi kayu yaitu adanya kadar asam sianida (HCN) yang merupakan faktor anti nutrisi. Kandungan HCN yang ada pada ubi kayu tergantung pada musim. Curah hujan yang rendah akan meningkatkan kandungan HCN pada ubi kayu.
Zat anti nutrisi tersebut dapat dihilangkan dengan pengolahan bahan yang benar. Pengolahan bahan pakan dapat dilakukan secara mekanis atau fisik, kimia, biologis atau kombinasi dari ketiga pengolahan tersebut. Pengolahan secara fisik pada kulit ubi kayu dapat menghilangkan kandungan HCN sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Kandungan Gizi Ubi Kayu
Limbah ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrient = TDN) tinggi dan kandungan nutrisi dalam jumlah memadai. Protein dalam ubi kayu juga mengandung berbagai macam asam amino seperti leusin, isoleusin, lysin dan beberapa asam amino lainnya. Asam amino tersebut juga masih terkandung dalam kulit ubi kayu karena dalam pengelupasan kulit ubi kayu masih tertinggal isi dari ubi kayu.
Pengolahan Kulit Ubi Kayu
Pengolahan ubi kayu untuk menghilangan HCN pada umumnya dilakukan secara fisik. Kadar HCN yang merupakan faktor anti nutrisi pada kulit ubi kayu dapat dilakukan penekanan dengan berbagai cara dan dengan tingkat penekanan HCN yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan. Perlakuan fisik pada ubi kayu dapat dilakukan dengan empat cara yaitu :
  1. Kulit ubi kayu dicuci
  2. Kulit ubi kayu dikukus (suhu 1000C)
  3. Kulit ubi kayu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C selama 12 jam.
  4. Kulit ubi kayu dikukus dan dijemur dibawah sinar matahari selama 12 jam
Keempat metode tersebut menghasilkan penekanan yang berbeda terhadap kandungan HCN dalam kulit ubi kayu yang telah diproses. Hasil dari kempat perlakuan tersebut adalah :
Tabel 1. Rata-rata Nilai HCN Kulit ubi kayu dengan berbagai perlakuan
Parameter
Perlakuan (mg/100g)
Kadar HCN
Pencucian
Pengukusan (1000C)
Pengeringan dalam oven (1000C selama 12 jam
Pengukusan + pengeringan sinar matahari
89,32
16,42
8,88
5,76
Sumber : Purwati (2005)
Penekanan yang cukup tinggi terjadi pada perlakuan pengukusan dan penjemuran yaitu 5,76 mg/100 g. Dimana kadar HCN kulit ubi kayu tanpa perlakuan sebesar 143,3 mg/100 g dalam bahan kering (BK). Penekanan yang besar pada perlakuan ini bisa dilihat adanya perlakuan berulang dalam hal penurunan kadar HCN pada kulit ubi kayu yaitu dengan cara mengukus (90 -100°C) dimana kadar HCN menguap sejalan dengan terjadinya penguapan pada saat mengukus kemudian dilanjutkan dengan menjemur dibawah sinar matahari selama ± 12 jam juga bertambah hilangnya HCN seiring dengan berkurangya kadar air bahan pada saat dijemur.
Penggunaan ubi kayu dalam pakan ternak perlu didahului dengan proses pemanasan, seperti di bawah terik matahari. Ubi kayu yang akan dipanaskan harus dipotong-potong menjadi bagian yang kecil, supaya proses pemanasan dan pengeringan lebih sempurna. Proses pemanasan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan racun HCN. Selain itu dengan cara merebus, mengupas, mengiris kecil-kecil, merendam dalam air, menjemur hingga kemudian dimasak adalah proses untuk mengurangi kadar HCN. Proses pencucian dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup, sangat ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun.
Kadar HCN pada kulit ubi kayu sangat bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Begitupun dengan setiap proses perlakuan memberikan tingkat penekanan kadar HCN yang berbeda. Jumlah kandungan cyanogen (HCN) dalam ubi kayu dengan berbagai perlakuan yang masih diperbolehkan adalah 10 ppm untuk kententuan WHO dan 40 ppm untuk ketentuan Indonesia.
Pemanfaatan Kulit Ubi kayu Hasil Olahan Fisik
Kulit ubi kayu yang diolah sehingga kandungan HCN menurun dapat digunakan sebagai pakan berbagai ternak khususnya sebagai sumber pakan alternatif
× Kulit ubi kayu sebagai pakan sapi potong, penggunaan kulit ubi kayu sebagai pakan sapi potong merupakan sebagai pakan konsentrat. Penggunaan dapat dikombinasikan dengan jerami amoniasi atau molases.
× Kulit ubi kayu sebagai pakan ternak unggas, penggunaan kulit ubi kayu sebagai pakan alternatif ternak unggas dapat mensubtitusi jagung yang di pasaran relatif mahal.
Selain ternak di atas kulit ubi kayu juga dapat digunakan sebagai pakan ternak-ternak lain seperti domba, kambing dan penggemukkan babi.

Monday, 29 December 2008

Teknik ELISA untuk Asai Hormon

I. PENDAHULUAN
2.1. Latar Belakang
Uji kekebalan enzimatis sering kali disebut enzyme-linked immuno-sorbent assay (ELISA) yang menghubungkan spesifitas antibodi dengan kepekaan uji enzimatis dengan spektrofotometer biasa atau antigen dilekatkan pada enzim yang mudah ditera (Sudarmadji, 1996). Ciri utama dari teknik ini adalah dipkai indikator enzim untuk reaksi imunologi. Penggunaan reaksi antigen-antibodi sebagai alat analisis telah menimbulkan revolusi dalam berbagai ilmu – ilmu biomedis. Reaksi ini tidak hanya bermanfaat untuk mendiagnosis penyakit infeksi dengan cara mendeteksi respons antibodi, tetapi telah digunakan pula secara meluas untuk mendeteksi antigen seperti hormon.
Pemahaman mengenai proses reproduksi telah meningkat secara nyata pada kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagian besar karena teknik analisis tersebut telah memungkinkan pengukuran kadar hormon dalam cairan tubuh hewan dalam berbagai kondisi fisiologis. Akhir-akhir ini telah diselidiki berbagai penanda seperti enzim, ko-enzim, zat warna flourosen, substrat flurogenik, senyawa penghasil kemiluminesen, bakteriofag, dan manik – manik polistiren.
ELISA telah terbukti cocok untuk menggantikan teknik Radioimmunoassay (RIA) yang memiliki berbagai kelemahan. Pendekatan ELISA ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan RIA antara lain: tidak perlu menggunakan bahan radioaktif, label yang stabil sehingga dapat disimpan lebih lama, deteksi aktivitas enzim hanya memerlukan alat fotometri, sensitivitas merupakan fungsi penanda serta sering kali dapat menghindari tahap pemisahan (Entwistle dan Ridd, 1995). Flynn et al. (1981) menyatakan bahwa teknik ELISA dapat digunakan untuk menggantikan teknik RIA dalam analisis hormon insulin.
Penggunaan sistem ELISA dalam penelitian analisis hormon baik dalam riset maupun dalam penerapan klinis sekarang sedang mengalami peningkatan. Keunggulan yang dimiliki teknik ELISA mengakibatkan teknik ini cepat populer. Di negara berkembang teknik ELISA lebih memungkinkan untuk dilakukan karena tidak membutuhkan pemakaian radioisotop. Berdasarkan alasan – alasan di atas maka perlu adanya suatu kajian untuk menganalisa teknik ELISA untuk analisis hormon khususnya hormon reproduksi.
2.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengkaji secara mendalam mengenai penggunaan teknik ELISA dalam analisis hormon yang sangat membantu bagi berkembangnya pengetahuan khususnya di bidang reproduksi.
II. PEMBAHASAN
2.1. Teknologi ELISA Untuk Asai Hormon
Secara singkat dapat dikatakan bahwa teknologi ELISA yang digunakan untuk asai hormon dalam cairan tubuh adalah sistem competitive enzyme immunoassay yang analog dengan teknik RIA. Antigen yang berlabel dan antigen yang tidak berlabel saling bersaing untuk berikatan dengan tapak pengikatan antibodi yang terdapat dalam jumlah terbatas. Saturasi antibodi terjadi secara simultan bila semua reaktan diinkubasikan bersama – sama. Contoh reaksi seperti ini adalah ELISA untuk mengukur progesteron, estradiol, dan kortisol. Pengukuran hormon kortisol dalam saliva menggunakan teknik ELISA dapat mengetahui tingkat stres yang di alami oleh organisme (Haussmann et al., 2007). Teknik ini tidak membutuhkan peralatan yang banyak (tabel 1).
                                                Tabel 1. Peralatan untuk ELISA
                                                 Sumber : Haussmann et al. (2007)
Sistem ELISA berikutnya yang paling umum digunakan untuk mengukur kadar hormon adalah metode sandwich. Vaysse et al. (1998) menggunakan teknik ini untuk menganalisa hormon kelamin atau Sex Hormon Binding Globulin (SHGB). Langkah untuk menganalisa SHGB diantaranya :

  1. menyelubungi dengan antibodi SHGB
  2. saturasi dengan BSA
  3. pengkondisian untuk pencucian dan inkubasi
  4. analisis data.


Gambar 1. Perbandingan ELISA metode competitive enzyme immunoassay (A) dan sandwich (B) (Entwistle dan Ridd, 1995).

Teknik sandwich juga telah digunakan untuk asai Luteinizing Hormone (LH) dan Human Chorionic Gonadotrophin (HCG). Kebanyakan ELISA sandwich digunakan untuk antigen yang menggunakan antibodi monoklonal. Oda et al. (2002) menggunakan ELISA sandwich dengan antibodi monoklonal (MAbs) untuk menganalisa sekresi lipocalin-type prostaglandin D synthase (L-PGDS) yang meningkat pada pasien yang terkena gagal ginjal.
Hormon – hormon reproduksi estrogen, progesteron, kortisol, merupkan hormon yang tersusun dari steroid. Steroid tidak bersifat imunogenik secara alami karena senyawa ini mempunyai berat molekul yang rendah sehingga untuk dapat menghasilkan respons imun steroid harus diikatkan pada senyawa dengan berat molekul yang lebih tinggi. Banyak molekul besar yang telah dianjurkan tetapi antiserum paling lazim diproduksi dengan imunisasi melawan konjugat steroid-BSA (bovine serum albumin). Karena antiserum cenderung tak dapat membedakan perubahan di sekitar tapak konjugasi, antiserum spesifik yang dapat membedakan steroid –steroid yang sangat mirip hanya dapat dibuat jika tapak konjugasi letaknya distal terhadap gugus fungsional (Entwistle dan Ridd, 1995). Sebagai contoh pada analisis kortisol, antiserum handal hanya dapat diperoleh dengan menggunakan kortisol yang dikonjugasikan dengan BSA melalui cincin A.
Sejak teknik asai hormon dengan menggunakan ELISA ditemukan, perkembangan analisis hormon yang berpengaruh dalam fisiologis tubuh berkembang pesat. Berbagai jenis hormon dianalisis termasuk hormon pertumbuhan (Growth Hormone : GH). Davis et al., (1994) melaporkan prosedur asai untuk analisis serum growth hormon binding-protein (GHBP) dengan prosedur kuantitatif ELISA yang dapat digunakan untuk asai GH pada babi, sapi, atau kuda (gambar 2).
Gambar 2. Prosedur asai serum growth hormon binding-protein (GHBP) dengan kuantitatif ELISA

Berdasarkan prosedur dalam gambar 2, pada dasarnya analisa hormon secara kuantitatif dengan menggunakan ELISA untuk berbagai hormon sama yaitu meliputi prosedur menyelubungi dengan antibodi, saturasi, pengkondisian untuk pencucian dan inkubasi, dan terakhir didapatkan substrat berwarna.
Sejalan dengan perkembangan teknik ELISA, maka penggunaan teknik – teknik analisa kuantitatif dalam biokimiawi semakin berkembang. Lovendahl et al. (2003) mengembangkan teknik analisa hormon pertumbuhan (GH) pada ruminansia dengan menggunakan metode time-resolved immunofluorometric assay. Kelemahan yang ada pada prosedur asai dengan menggunakan ELISA yaitu lamanya waktu inkubasi dapat dipecahkan dengan teknik ini. Teknik ini dalaporkanlebih sensitive, akurat, cepat, dan lebih ramah lingkungan. Time-resolved immunofluorometric assay sebenarnya hasil perkembangan dari teknik ELISA. Teknik ini menggunkan pewarnaan fluorescents yang telah sukses untuk menganalisis hormon insulin (Lovendahl and Purup, 2002).
Perkembangan lain dari teknik ELISA yaitu ditemukannya teknik micro-ELISA asai. Prosedur micro-ELISA dapat mengatasi permasalahan keterbatasan sample yang sering ditemukan dalam analisa kuantitatif di laboratorium (Wiese et al., 2001). Teknik ini menggunakan microarray platform yang dikembangkan berdasarkan metode sandwich ELISA.
                             Gambar 3. Rancangan Micro-ELISA

Perkembangan teknik ELISA sangat bermanfaat dalam ilmu kedokteran secara umum. Selain dapat mengidentifikasi penyakit-penyakit dan sistem imun, teknik ELISA juga dapat menganalisa penyakit karena gangguan fungsi hormonal tubuh. Seperti untuk menganalisa adiponectin yang merupakan hormon yang dapat digunakan sebagai biomarker untuk memonitor kemajuan dari pengobatan penyakit diabetes dan penyakit kardiovaskular (Sinha et al., 2007).

2.2. Penerapan Teknologi ELISA dalam Analisis Hormon Reproduksi
Teknologi ELISA semakin tersebar penerapannya dalam baik bidang riset maupun penerapan komersial. Ada dua masalah lama dalam manajemen reproduksi sapi yaitu masalah deteksi estrus dan diagnosis kebuntingan awal, keduanya dapat ditanggulangi dengan pengukuran kadar progesteron baik dalam darah maupun air susu.
Pada awalnya penelitian pada bidang ini menggunakan teknik RIA, tetapi kebutuhan akan kecepatan penanganan sampel menyebabkan berkembangnya teknik ELISA. Kebanyakan penerapan teknik ELISA ini untuk mengukur kadar progesteron dalam air susu pada peternakan sapi perah sebagai petunjuk diagnosis kebuntingan awal (Entwistle dan Ridd, 1995). Keberhasilan uji progesteron dalam air susu tergantung pada pengambilan satu sampel yang tepat waktu yaitu antara 21 dan 24 hari setelah inseminasi. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan bahwa satu sampel susu telah terbukti tepat 100 % untuk menguji hasil tes negatif (tidak bunting) dan 85 % untuk hasil tes positif (bunting). Penerapan dalam penelitian lainnya adalah dalam uji mortalitas embrio sapi dan penelitian endokrinologi siklus estrus dalam kebuntingan.
III. KESIMPULAN
  1. Uji kekebalan enzimatis sering kali disebut enzyme-linked immuno-sorbent assay (ELISA) yang menghubungkan spesifitas antibodi dengan kepekaan uji enzimatis dengan spektrofotometer biasa atau antigen dilekatkan pada enzim yang mudah ditera.
  2. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teknologi ELISA yang digunakan untuk asai hormon dalam cairan tubuh adalah sistem competitive enzyme immunoassay dan metode sandwich.
  3. Penerapan teknik ELISA dalam bidang reproduksi ternak yaitu untuk mengukur kadar progesteron dalam air susu sebagai petunjuk diagnosis kebuntingan awal; uji mortalitas embrio sapi; dan penelitian endokrinologi siklus estrus dalam kebuntingan.

DAFTAR PUSTAKA
Entwistle, K. W., dan C. A. J. Ridd. 1995. Teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian : Asai hormon dengan ELISA. Editor G. W. Burgess. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. (Diterjemahkan : W. T. Artama dan E. Moeljono)

Haussmann, M. F., C. M. Vleck, and E. S. Farrar. 2007. A laboratory exercise to illustrate increased salivary cortisol in response to three stressful conditions using competitive ELISA. Adv. Physiol. Educ. 31: 110–115.

Sinha, M. K., T. Songer, Q. Xiao, J. H. Sloan, J. Wang, S. Ji, W. E. Alborn, R. A. Davis, M. M. Swarbrick, K. L. Stanhope, B. M. Wolfe, P. J. Havel, T. Schraw, R. J. Konrad, P. E. Scherer, and J. S. Mistry. 2007. Analytical Validation and Biological Evaluation of a High–Molecular-Weight Adiponectin ELISA. Clinical Chemistry 53 (12): 2144–2151.

Oda, H, Y. Shiina, K. Seiki, N. Sato, N. Eguchi, and Y. Urade. 2002. Development and Evaluation of a Practical ELISA for Human Urinary Lipocalin-Type Prostaglandin D Synthase. Clinical Chemistry 48 (9): 1445–1453.

Flynn, S. D., D. F. Keren, B. Torrettl, R. C. Dleterle, and S. Grauds. 1981. Factors Affecting Enzyme-Linked Immunosorbent Assay(ELIsA) for Insulin Antibodiesin Serum. Clinical Chemistry, 27 (10): 1753-1757.

Vaysse, J., M. Beaugrand, and M. Pontet. 1998. Measurements of Total and Desialylated Sex Hormonebinding Globulin in Serum by ELISA. Clinical Chemistry 44 (4): 882 – 884.

Davis, S. L., N. B. Wehr, D. M. Laird and A. C. Hammond. 1994. Serum growth hormone-binding protein (GHBP) in domestic animals as measured by ELISA. J Anim Sci 72:1719-1727.

Wiese, R., Y. Belosludtsev, T. Powdrill, P. Thompson, and M. Hogan. 2001. Simultaneous Multianalyte ELISA Performed on a Microarray Platform. Clinical Chemistry 47 (8): 1451–1457.

Lovendahl, P., J. Adamsen, R. Lund and P. Lind. 2003. Technical note: Time-Resolved immunofluorometric assay for growth hormone in ruminants. J Anim Sci. 81:1294-1299.

Lovendahl, P., and H. M. Purup. 2002. Technical note: Time-resolved fluoro-immunometric assay for intact insulin in livestock species. J. Anim. Sci. 80:191–195.