Tuesday, 22 December 2015

Ibu, Anakmu Rindu

Hari ini rasanya hati sedikit mellow, memulai aktivitas partime job dari jam 6 pagi, lanjut dengan serangkaian eksperimen mengisolasi stem cell dari sel testis sapi, kemudian menjelang Isya diskusi cukup menguras otak dan perasaan dengan Pak Guru. Cukup lelah, tetapi masih belum seberapa jika dibanding kelelahan Ibuku, seorang pekerja keras sejati bagiku.

Setiap hari beliau bangun sebelum subuh, jam 4 pagi, bahkan seringnya sebelum itu. Beliau segera menyiapkan sarapan untuk kami, anak-anaknya, memastikan agar kami dapat menyantap sarapan ala kadarnya untuk memulai hari. Segera setelah subuh beliau berangkat ke pasar berbelanja barang-barang yang akan di jual di warung kecil milik keluarga kami. Harus sepagi itu, demi mendapatkan sayur yang lebih segar dan lebih beragam. Dari warung inilah ibu bertekad untuk mewujudkan mimpinya: MENYEKOLAHKAN ANAK-ANAKNYA SEMAMPUNYA, beliau dulu tidak punya kesempatan untuk mengenyang pendidikan. Ibu tidak pernah berharap dapat menumpuk materi dari warung kecilnya, Ibu hanya ingin memastikan agar anak-anaknya dapat sekolah. Sepulang dari pasar sekitar pukul 07.00-08.00 beliau tidak langsung istirahat, melainkan mulai membuka warungnya dan mulai berjualan hingga menjelang maghrib. Begitu rutinitas beliau setiap hari sampai sekarang. Usiaku sudah 31 tahun, tetapi rasanya aku tidak ingat kapan beliau memulai rutinitas tersebut, sudah berjalan puluhan tahun. Hebatnya lagi beliau menyekolahkan anak-anaknya hanya untuk jadi pintar, bukan jadi kaya. Meskipun keluarga kami sangat  sederhana, ibuku tidak “berdagang’ dalam menyekolahkan anak-anaknya. Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak itu agar menjadi pejabat, pemimpin, dan hal lain yang bernuansa materiil untuk masa depannya. Tetapi Ibuku hanya berpikiran menyekolahkan anak supaya pintar. Terserah mau jadi apa saja nantinya kalua sudah selesai sekolah, bahkan jika nantinya anaknya mau berjibaku dengan lumpur nyangkul disawah pun tidak masalah. Yang penting tukang nyangkul yang “pintar”. Bahkan ketika dulu aku senang mengutarakan cita-cita, ibuku selelu bilang “aja kegeden jangkah” (jangan terlalu bermimpi) cukup saja sekolah yang bener toh nantinya segala sesuatunya akan ikut dengan sendirinya “Gusti Allah ora sare/Allah tidak tidur”, kalimat retoris orang tua jawa.
Hal lain di antara ribuan memori tentang ibu, yang masih sangat kuingat dipikiranku yaitu ketika anak-anaknya hendak melakukan kesalahan-kesalahan seperti ingin mengambil hak orang lain. Ibuku selalu menakut-nakuti dengan kalimat “aja! Mengko diomehi Gusti Allah/ jangan, nanti dimarahi Allah”. Bukan dengan kalimat “ jangan nak nanti ayah marah, jangan nak nanti pemiliknya marah, atau kalimat lain yang menunjukan ketakutan terhadap makhluk”. Beliau tidak mengenal ilmu parenting, tidak juga memiliki ilmu agama yang mumpuni, tetapi beliau paham bahwa Allah itu Maha Tahu, sehingga dimanapun anaknya nanti berada akan selalu takut akan murka Allah jika ingin mengambil hak orang lain.
Sekarang, sepertinya mimpinya tidaklah hanya sekedar mimpi, mulai jadi kenyataan. Anak laki-lakinya sedang menyelesaikan program doctor di Kyoto University Jepang (teriring do’a Ibu semoga akan terselesaikan). Dan anak perempuannya juga sedang menyelesaikan program S1- nya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Untuk orang-orang yang sudah terlahir nyaman, tentunya pencapaian seprerti ini itu hal biasa. Tapi bagi kedua orang tua kami, hal ini sudah sangat jauh melampai batas mimpi mereka.
Dihari ibu ini ingin rasanya pulang dan mencium kaki ibu, menceritakan kisah bahagia keluarga kecilku, mempertemukannya dengan cucu-cucunya yang sedang bertumbuh. Membiarkannya menikmati kegembiraan bersama cucu-cucunya. Tetapi itu tidak dapat kulakukan, kami terpisah jarak ribuan kilometer, hanya sesekali terhubung lewat telpon seluler atau koneksi internet ketika ada yang mengkoneksikan.
Ibu, anakmu rindu….

Kyoto, 22 Desember 2015

0 comments: