Friday, 4 December 2015

Riset yang "Menguap"

foto ilustrasi: kabur (@siyoyo)
Beberapa tahun lalu pernah ramai diberitakan tentang riset mengenai blue energy dimana air laut katanya dapat dikonversi jadi BBM, terlepas dari benar/tidaknya hasil penelitian yang jelas ujung-ujungnya “menguap”. Kemudain beberapa tahun setelahnya giliran riset mengenai pengembangan mobil listrik yang masuk ranah politik dan opini, ujung-ujungnya “menguap” juga. Dan yang terbaru yaitu riset mengenai ECVT yang dikembangkan oleh Dr. Warsito yang sepertinya lambat laun juga akan masuk ranah opini.  Di dalam riset itu sejatinya tidak ada opini, yang ada hanya hipotesis kemudian dibuktikan dengan data yang reliable.
Karena tulisan ini merupakan opini, jadi menurut opini penulis: riset itu terkadang kejam, bahasanya lugas singkat padat tegas, boleh salah tapi tidak boleh bohong, harus jauh dari kepentingan-kepentingan selain dari tujuan riset. Karena kekejamannya inilah terobosan-terobosan baru antimainsteam yang ditemukan dari hasil riset harus bijak dalam penyampainya, transparan. Transparan bukan berarti terbuka, hanya terlihat samar-samar, tidak menyampaikan hal-hal yang memang belum saatnya disampaikan.
Menguapnya beberapa riset potensial di NKRI, menurut opini penulis itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

Pemberitaan media yang berlebihan
Kekuatan pemberitaan media itu sangat ampuh sejak dulu. Tidak heran jika waktu pemberontakan PKI pada gerakan 30 September 1965, gerombolan ini mengambil alih RRI sebagai media yang cukup menjangkau pelosok negeri pada saat itu (maaf jika sejarah tentang PKI sejatinya melenceng atau memang sudah lurus tetapi mau dibelokan). Apalagi sekarang era dimana sangat mudah untuk menggiring opini public melalui media. Sering kali pemberitaan tentang sebuah hasil riset yang menjanjikan di NKRI itu terlalu berlebihan hanya demi mengejar rating berita. Sehingga ekspektasi public akan hasil riset tersebut sangat tinggi. Hal ini dapat menimbulkan “kebanggan semu”, jika suatu saat publik tau bahwa risetnya tidak setinggi ekspektasi mereka, maka respek terhadap si periset menurun, merugikan periset, dan akhirnya risetnya sendiri. Saran bagi periset di NKRI, jika tidak bisa memaksa media untuk memberitakan dengan wajar, sebaiknya jangan memberitahu hasil riset ke media, tetapi tulislah di jurnal ilmiah internasional yang mengalami proses peer review.

Terlalu dini merayakan kemenangan
Beberapa periset sering kali memberitahukan keberhasilan riset mereka terlalu dini, sebelum mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin belum terpikirkan oleh penulis untuk diuji. Sehingga pada suatu saat hasil risetnya tidak reproducible atau ditemukan kekurangan-kekurangannya, akhirnya yang dikorbankan adalah risetnya yang dihentikan bukan disempurnakan. Periset yang sudah terlanjur menikmati euphoria kemenangan dini lambat laun malah lupa dengan tujuan risetnya, energinya lebih banyak digunakan untuk mempertahankan eksistensi dirinya, bukan hasil akhir dari risetnya.

Pola pikir instant
Pola pikir instant sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan bagi publik NKRI. Penulis menyadari itu karena terkadang penulis juga begitu, tetapi sepanjang ada mental untuk berubah lebih baik, tentunya lambat laun kita dapat menguranginya. Seringkali para pemegang kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk “memaksakan” penggunaan hasil riset terlalu berpikir instant, bahwa sebuah hasil penelitian itu harus dapat segera diterapkan. Padahal sebuah teknologi yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia itu dihasilkan dari hasil penelitian bertahun-tahun, bahkan terkadang merupakan gabungan dari beberapa penemuan.

Sebenarnya masih banyak lagi masalah-masalah terkait dunia riset dan teknologi di NKRI. Kalau secara klise pastinya bisa disampaikan bahwa  “pernyataan kebijakan pemerintah yang medukung riset hanya retorika”. Tetapi rasanya sudah jenuh dengan itu, karena selalu saja kambing hitam segala masalah itu “pemerintah”. Padahal sudah beberapa kali berganti rezim pemerintahan, masih tetap saja begitu. 

2 comments:

Hanif said...

Yups. untuk point terakhir perlu lebih ditekankan. Kadang 1 riset dalam setahun diminta untuk bisa menyelesaikan 1 masalah. Terkadang riset itu perlu tahapan untuk benar-benar bisa diaplikasikan. Riset dasar tentunya berbeda dengan riset terapan.

Untuk media memang tim website internal masing2 institusi harus dipegang oleh orang-orang yang tahu akan riset dan bagaimana publikasi populernya. Peneliti bisa menuliskan banyak hal agar bisa diketahui publik bahwa mereka bekerja. Di sisi lain, pemberitaan yang keluar harus disaring.

_

Tulisan yang bagus om... Lanjutkan! Moga sukses dengan risetnya.

suyatno said...

Iya om... masih banyak yang harus diperbaiki tentang dunia riset tanah air.