Wednesday, 19 August 2015

Perdagingan Sapi menurut Tukang Sulap


Meskipun sudah berganti pemerintahan, tetapi topik daging sapi ini masih berlanjut. Memang masalah perdagingan cukup rumit. Mata rantai produksinya saja cukup rumit apalagi jika sudah dicampuradukan dengan urusan politik. Sepertinya negara (pemerintah dan sebagian besar rakyatnya) memang sedang salah fokus, Sehingga segala sesuatu fokusnya ke politik dari urusan daging, cara hormat bendera, cara beragama, atau apapun sepertinya tidak seru jika tidak dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Segala sesuatu yang salah dengan negara pasti pemerintah yang salah. Padahal negara yang baik warganya juga baik. Salah fokus ini juga yang akan secara tidak sadar membuat warga negara untuk: tidak fokus bekerja sesuai peran masing-masing, tidak fokus beribadah sesuai agama masing-masing, tidak fokus membangun diri dan keluarganya, atau bahkan tidak fokus terhadap kesalahannya sendiri. Dan jika memang benar ada pihak yang tidak senang jika Indonesia menjadi negara yang ideal, maju, dan teratur, maka mereka telah sukses dengan pertama-tama menjadikannya untuk tidak fokus. 

Industri perdagingan itu bukan seperti industri manufaktur, yang pabriknya artifisial yang jika ingin produksi lebih banyak tinggal memperbesar pabriknya dan menambah kapasitas produksi. Meningkatkan produksi  daging sapi juga lebih sulit dari meningkatkan produksi  beras, meskipun sama-sama industry biologis. Jika satu kilogram benih padi dapat menghasilkan ribuan pohon padi, maka dengan ekstensifikasi dan teknologi budi daya yang mumpuni produksi beras akan cepat naik. Tetapi beda dengan daging. Satu ekor sapi bakalan yang degemukan ya akan tetap satu sampai dia siap dipotong, bobot badannya saja yang naik. Satu ekor sapi betina ya hanya melahirkan rata-rata satu ekor anak pertahun. Itu baru lahir, belum menunggu dewasa hingga siap potong, belum memilah mana yang harus dikembangkan untuk bibit dan mana yang harus digemukan. Oleh karena itu, untuk swasembada daging harus sabar. Sementara diusahkan saja harus sabar, apalagi jika tidak diusahakan karena salah fokus.

Sementara kebutuhan daging dalam negeri belum tercukupi, impor memang masih diperlukan. Logikanya sederhana karena laju konsumsi lebih besar dari produksi (lebih banyak yang dipotong dari pada yang beranak), kalau tidak didatangkan daging dari luar, swasembada sulit tercapai.  Yang perlu dikaji itu, apa benar impor sapi merugikan peternak lokal atau tidak. Jika iya maka sementara kran impor dibuka, yang perlu ditolong yaitu para peternak lokal. Hal ini bisa menggunakan subsidi hasil akhir, jadi bukan peternak diberi bantuan bibit atau saprodi lagi, tetapi pemerintah membeli sapi-sapi dari peternakan rakyat dengan harga yang pantas melalui subsidi.

Kelangkaan daging sapi juga belum tentu dipicu dari adanya ulah pengusaha yang menimbun sapi. Kalau menimbun daging ada kemungkinan, sepanjang si pengusaha punya tempat menimbunnya, tapi kalau menimbun sapi sepertinya si pengusaha harus memiliki modal yang besar dan cukup berani mengambil resiko. Sapi itu bernyawa dan yang bernyawa itu butuh makan untuk hidup. Jadi untuk menimbun sapi butuh modal besar untuk mepertahankan agar sapi tetap hidup.

Kalau ada yang salah pada rantai pemasaran sapi dari peternak lokal malah mungkin benar, Karena berdasarkan pengalaman dulu sebagai peternak, kebijakan impor sapi atau daging itu tidak berpengaruh signifikan terhadap harga sapi ditingkat peternak. Bahkan ketika harga daging mahal pun belum tentu harga sapi dari peternak rakyat ikut naik.  Jadi semahal apapun harga daging, belum tentu peternak menikmati.

Kesimpulan dari tulisan si tukang sulap ini yaitu: 1) selama belum swasembada daging, impor sapi masih diperlukan (biar yang di dalam negeri beranak-pinak konsumsi dicukupi dari luar). 2) Untuk melindungi dan menjaga gairah peternak lokal, subsidi yang selama ini diberikan dalam bentuk bibit dapat dialihkan ke subsidi hasil.