Meskipun sudah berganti pemerintahan, tetapi topik daging sapi ini masih berlanjut. Memang masalah perdagingan cukup rumit. Mata rantai produksinya saja cukup rumit apalagi jika sudah dicampuradukan dengan urusan politik. Sepertinya negara (pemerintah dan sebagian besar rakyatnya) memang sedang salah fokus, Sehingga segala sesuatu fokusnya ke politik dari urusan daging, cara hormat bendera, cara beragama, atau apapun sepertinya tidak seru jika tidak dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Segala sesuatu yang salah dengan negara pasti pemerintah yang salah. Padahal negara yang baik warganya juga baik. Salah fokus ini juga yang akan secara tidak sadar membuat warga negara untuk: tidak fokus bekerja sesuai peran masing-masing, tidak fokus beribadah sesuai agama masing-masing, tidak fokus membangun diri dan keluarganya, atau bahkan tidak fokus terhadap kesalahannya sendiri. Dan jika memang benar ada pihak yang tidak senang jika Indonesia menjadi negara yang ideal, maju, dan teratur, maka mereka telah sukses dengan pertama-tama menjadikannya untuk tidak fokus.
Industri perdagingan itu bukan seperti industri manufaktur,
yang pabriknya artifisial yang jika ingin produksi lebih banyak tinggal memperbesar
pabriknya dan menambah kapasitas produksi. Meningkatkan produksi daging sapi juga lebih sulit dari meningkatkan
produksi beras, meskipun sama-sama industry
biologis. Jika satu kilogram benih padi dapat menghasilkan ribuan pohon padi,
maka dengan ekstensifikasi dan teknologi budi daya yang mumpuni produksi beras akan
cepat naik. Tetapi beda dengan daging. Satu ekor sapi bakalan yang degemukan ya
akan tetap satu sampai dia siap dipotong, bobot badannya saja yang naik. Satu
ekor sapi betina ya hanya melahirkan rata-rata satu ekor anak pertahun. Itu
baru lahir, belum menunggu dewasa hingga siap potong, belum memilah mana yang harus dikembangkan untuk bibit dan mana yang harus digemukan. Oleh karena itu, untuk swasembada daging harus sabar. Sementara diusahkan saja harus sabar, apalagi jika tidak diusahakan karena salah fokus.
Sementara kebutuhan daging dalam negeri belum tercukupi,
impor memang masih diperlukan. Logikanya sederhana karena laju konsumsi lebih
besar dari produksi (lebih banyak yang dipotong dari pada yang beranak), kalau
tidak didatangkan daging dari luar, swasembada sulit tercapai. Yang perlu dikaji itu, apa benar impor sapi
merugikan peternak lokal atau tidak. Jika iya maka sementara kran impor dibuka,
yang perlu ditolong yaitu para peternak lokal. Hal ini bisa menggunakan subsidi
hasil akhir, jadi bukan peternak diberi bantuan bibit atau saprodi lagi, tetapi
pemerintah membeli sapi-sapi dari peternakan rakyat dengan harga yang pantas
melalui subsidi.
Kelangkaan daging sapi juga belum tentu dipicu dari adanya
ulah pengusaha yang menimbun sapi. Kalau menimbun daging ada kemungkinan,
sepanjang si pengusaha punya tempat menimbunnya, tapi kalau menimbun sapi sepertinya
si pengusaha harus memiliki modal yang besar dan cukup berani mengambil resiko.
Sapi itu bernyawa dan yang bernyawa itu butuh makan untuk hidup. Jadi untuk
menimbun sapi butuh modal besar untuk mepertahankan agar sapi tetap hidup.
Kalau ada yang salah pada rantai pemasaran sapi dari
peternak lokal malah mungkin benar, Karena berdasarkan pengalaman dulu sebagai
peternak, kebijakan impor sapi atau daging itu tidak berpengaruh signifikan
terhadap harga sapi ditingkat peternak. Bahkan ketika harga daging mahal pun
belum tentu harga sapi dari peternak rakyat ikut naik. Jadi semahal apapun harga daging, belum tentu
peternak menikmati.
Kesimpulan dari tulisan si tukang sulap ini
yaitu: 1) selama belum swasembada daging, impor sapi masih diperlukan (biar
yang di dalam negeri beranak-pinak konsumsi dicukupi dari luar). 2) Untuk melindungi
dan menjaga gairah peternak lokal, subsidi yang selama ini diberikan dalam
bentuk bibit dapat dialihkan ke subsidi hasil.
0 comments:
Post a Comment