Friday, 23 December 2016

OmTeloletOm

Sejak beberapa bulan lalu dan puncaknya diminggu ini, timeline media sosial dipenuhi dengan status #omteloletom. Begitu dahsyatnya #omteloletom tersebut sampai beberapa selebritas dunia pun meresponnya. Telolet berawal dari kreatifitas para bismania memasang klakson variatif berbunyi telolet, mendorong aktifitas sekelompok anak-anak yang haus hiburan untuk meminta sopir bus membunyikan klakson tersebut, om telolet om merupakan kalimat yang digunakan anak-anak tersebut sewaktu meminta. Setelah rekaman video itersbut diunggah ke internet, dibagikan secara viral, #omteloletom menjadi trending topik, sehingga mendunia. Sebenarnya sebagai orang yang pernah sedikit mengalami kehidupan angkutan bus/truck. Klakson telolet tidaklah baru, bahkan sekitar tahun 2002 saya pernah memasang klakson ini di mobil kijang kotak pick up keluaran tahun 80 yang digunakan untuk angkutan barang. Omteloletom menjadi mendunia gara-gara nitizen membombardir akun-akun media social para pesohor dunia dengan komentar om telolet om. 

Kali ini saya mencoba untuk menghubungkan fenomana om telolet om ini dengan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan. Sejak banyaknya media abal-abal yang suka menghubungkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan, kemampuan serupa juga secara tidak sengaja terasah pada diri saya. 

Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) sepanjang 2016 mengungkapkan bahwa 132,7 juta orang dari 256,2 juta orang penduduk Indonesia telah terhubung ke internet. Jika merujuk pada data kominfo bahwa 95% pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial maka ada sekitar 130 juta pengguna media sosial. 

Country Business Head Twitter Indonesia Roy Simangunsong mengatakan, jumlah cuitan orang Indonesia selama Januari hingga Desember 2016 mencapai 4,1 miliar tweet. Roy menambahkan, jumlah pengguna aktif twitter di Indonesia mencapai 77 persen dari seluruh pengguna di dunia. Data ini baru merujuk pada satu media social twitter, belum facebook, instagram, line dll. Hal ini menjukkan betapa orang Indonesia itu cerewet di media sosial.

Jadi tidak heran jika seluruh pengguna media sosial aktif di Indonesia bersatu dan membombardir akun-akun para pesohor dengan satu komentar dan tagar yang sama, maka dalam sekejap dapat menjadi trending topic world wide. Begitu juga dengan bombardier #omteloletom. 

Kekuatan besar linimasa tersebut dapat berdapak negatif dan positif tergantung bagaimana para pengguna akan memanfaatkan media sosialnya. Seperti cuitan Barack Obama di twitter yang menganggap om telolet om itu senjata baru dari Indonesia. Senjata dapat bermanfaat atau jadi malapetaka, tergantung saipa yang memegang. Hanya saja yang terlihat akhir-akhir ini ternyata, timeline media soisal saya lebih banyak depenuhi oleh hal-hal negative dari media sosial. Seperti hoax, status/tulisan provokatif, mengandung kebencian, radikal, hujatan, saling serang, atau memecah belah bangsa dan umat. Ketika kita membuat status tentu saja anggapan kita adalah benar, kecuali jika orang yang mebuat status tersebut tergolong orang yang sudah tidak dapat ditolong karena sudah tahu salah masih saja ngeyel nyetatus. Tetapi cobalah untuk memandang kebenaran itu dari dua sisi agar kita dapat berbuat adil. Dari sudut kita yang nyetatus dan sudut orang si target status, jika kita saja tersinggung atau tidak senang jika ada orang berkata kasar, menyebarkan hoax, atau memfitanh kita. Tentunya orang lain juga. 

Kemudian satu lagi yang saya amati yaitu fenomena “share”. Ada saja orang yang dengan mudahnya membagikan berita apa saja yang kebetulan sedang menggambarkan suasana hati atau pendapatnya saat itu tanpa membaca detail, menganalisa berita itu benar atau salah terlebih dahulu. Meskipun terkadang tujuannya mengingatkan kepada kebaikan. Tetapi sudah seharusnya tujuan yang baik menggunakan cara yang baik pula. Agar tidak timbul masalah dikemedian hari nanti, jangan asal baik dulu sekarang, tapi seyogyanya bisa baik sekarang dan seterusnya. Jika ternyata berita yang kita share ternyata hoax dan ada maksud terselubung, selanjutnya malah akan merugikan kebaikan itu sendiri, lama-lama kebaikan akan ditinggalkan orang. 

Jadi jika kita masih menginginkan ada kedamaian, kebaikan, ketentraman, bagi kita dan generasi selanjutnya setelah kita, maka gunakanlah media sosial secara bijak, kurangi nyetatus yang mengintimidasi orang atau golongan tertentu, sebarkan kebaikan dengan cara-cara yang baik.

Sesuai janji saya tadi, inti tulisan ini tidak terhubung langsung dengan om telolet om, tetapi karena saya menggunakan teknologi wireless jadi tidak perlu koneksi langsung untuk menghubungkan sesuatu. Semoga bermanfaat, kalau pun tidak setidaknya saya sedang nostalgia dengan bunyi klakson telolet.

Tuesday, 22 December 2015

Ibu, Anakmu Rindu

Hari ini rasanya hati sedikit mellow, memulai aktivitas partime job dari jam 6 pagi, lanjut dengan serangkaian eksperimen mengisolasi stem cell dari sel testis sapi, kemudian menjelang Isya diskusi cukup menguras otak dan perasaan dengan Pak Guru. Cukup lelah, tetapi masih belum seberapa jika dibanding kelelahan Ibuku, seorang pekerja keras sejati bagiku.

Setiap hari beliau bangun sebelum subuh, jam 4 pagi, bahkan seringnya sebelum itu. Beliau segera menyiapkan sarapan untuk kami, anak-anaknya, memastikan agar kami dapat menyantap sarapan ala kadarnya untuk memulai hari. Segera setelah subuh beliau berangkat ke pasar berbelanja barang-barang yang akan di jual di warung kecil milik keluarga kami. Harus sepagi itu, demi mendapatkan sayur yang lebih segar dan lebih beragam. Dari warung inilah ibu bertekad untuk mewujudkan mimpinya: MENYEKOLAHKAN ANAK-ANAKNYA SEMAMPUNYA, beliau dulu tidak punya kesempatan untuk mengenyang pendidikan. Ibu tidak pernah berharap dapat menumpuk materi dari warung kecilnya, Ibu hanya ingin memastikan agar anak-anaknya dapat sekolah. Sepulang dari pasar sekitar pukul 07.00-08.00 beliau tidak langsung istirahat, melainkan mulai membuka warungnya dan mulai berjualan hingga menjelang maghrib. Begitu rutinitas beliau setiap hari sampai sekarang. Usiaku sudah 31 tahun, tetapi rasanya aku tidak ingat kapan beliau memulai rutinitas tersebut, sudah berjalan puluhan tahun. Hebatnya lagi beliau menyekolahkan anak-anaknya hanya untuk jadi pintar, bukan jadi kaya. Meskipun keluarga kami sangat  sederhana, ibuku tidak “berdagang’ dalam menyekolahkan anak-anaknya. Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak itu agar menjadi pejabat, pemimpin, dan hal lain yang bernuansa materiil untuk masa depannya. Tetapi Ibuku hanya berpikiran menyekolahkan anak supaya pintar. Terserah mau jadi apa saja nantinya kalua sudah selesai sekolah, bahkan jika nantinya anaknya mau berjibaku dengan lumpur nyangkul disawah pun tidak masalah. Yang penting tukang nyangkul yang “pintar”. Bahkan ketika dulu aku senang mengutarakan cita-cita, ibuku selelu bilang “aja kegeden jangkah” (jangan terlalu bermimpi) cukup saja sekolah yang bener toh nantinya segala sesuatunya akan ikut dengan sendirinya “Gusti Allah ora sare/Allah tidak tidur”, kalimat retoris orang tua jawa.
Hal lain di antara ribuan memori tentang ibu, yang masih sangat kuingat dipikiranku yaitu ketika anak-anaknya hendak melakukan kesalahan-kesalahan seperti ingin mengambil hak orang lain. Ibuku selalu menakut-nakuti dengan kalimat “aja! Mengko diomehi Gusti Allah/ jangan, nanti dimarahi Allah”. Bukan dengan kalimat “ jangan nak nanti ayah marah, jangan nak nanti pemiliknya marah, atau kalimat lain yang menunjukan ketakutan terhadap makhluk”. Beliau tidak mengenal ilmu parenting, tidak juga memiliki ilmu agama yang mumpuni, tetapi beliau paham bahwa Allah itu Maha Tahu, sehingga dimanapun anaknya nanti berada akan selalu takut akan murka Allah jika ingin mengambil hak orang lain.
Sekarang, sepertinya mimpinya tidaklah hanya sekedar mimpi, mulai jadi kenyataan. Anak laki-lakinya sedang menyelesaikan program doctor di Kyoto University Jepang (teriring do’a Ibu semoga akan terselesaikan). Dan anak perempuannya juga sedang menyelesaikan program S1- nya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Untuk orang-orang yang sudah terlahir nyaman, tentunya pencapaian seprerti ini itu hal biasa. Tapi bagi kedua orang tua kami, hal ini sudah sangat jauh melampai batas mimpi mereka.
Dihari ibu ini ingin rasanya pulang dan mencium kaki ibu, menceritakan kisah bahagia keluarga kecilku, mempertemukannya dengan cucu-cucunya yang sedang bertumbuh. Membiarkannya menikmati kegembiraan bersama cucu-cucunya. Tetapi itu tidak dapat kulakukan, kami terpisah jarak ribuan kilometer, hanya sesekali terhubung lewat telpon seluler atau koneksi internet ketika ada yang mengkoneksikan.
Ibu, anakmu rindu….

Kyoto, 22 Desember 2015

Friday, 4 December 2015

Riset yang "Menguap"

foto ilustrasi: kabur (@siyoyo)
Beberapa tahun lalu pernah ramai diberitakan tentang riset mengenai blue energy dimana air laut katanya dapat dikonversi jadi BBM, terlepas dari benar/tidaknya hasil penelitian yang jelas ujung-ujungnya “menguap”. Kemudain beberapa tahun setelahnya giliran riset mengenai pengembangan mobil listrik yang masuk ranah politik dan opini, ujung-ujungnya “menguap” juga. Dan yang terbaru yaitu riset mengenai ECVT yang dikembangkan oleh Dr. Warsito yang sepertinya lambat laun juga akan masuk ranah opini.  Di dalam riset itu sejatinya tidak ada opini, yang ada hanya hipotesis kemudian dibuktikan dengan data yang reliable.
Karena tulisan ini merupakan opini, jadi menurut opini penulis: riset itu terkadang kejam, bahasanya lugas singkat padat tegas, boleh salah tapi tidak boleh bohong, harus jauh dari kepentingan-kepentingan selain dari tujuan riset. Karena kekejamannya inilah terobosan-terobosan baru antimainsteam yang ditemukan dari hasil riset harus bijak dalam penyampainya, transparan. Transparan bukan berarti terbuka, hanya terlihat samar-samar, tidak menyampaikan hal-hal yang memang belum saatnya disampaikan.
Menguapnya beberapa riset potensial di NKRI, menurut opini penulis itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

Pemberitaan media yang berlebihan
Kekuatan pemberitaan media itu sangat ampuh sejak dulu. Tidak heran jika waktu pemberontakan PKI pada gerakan 30 September 1965, gerombolan ini mengambil alih RRI sebagai media yang cukup menjangkau pelosok negeri pada saat itu (maaf jika sejarah tentang PKI sejatinya melenceng atau memang sudah lurus tetapi mau dibelokan). Apalagi sekarang era dimana sangat mudah untuk menggiring opini public melalui media. Sering kali pemberitaan tentang sebuah hasil riset yang menjanjikan di NKRI itu terlalu berlebihan hanya demi mengejar rating berita. Sehingga ekspektasi public akan hasil riset tersebut sangat tinggi. Hal ini dapat menimbulkan “kebanggan semu”, jika suatu saat publik tau bahwa risetnya tidak setinggi ekspektasi mereka, maka respek terhadap si periset menurun, merugikan periset, dan akhirnya risetnya sendiri. Saran bagi periset di NKRI, jika tidak bisa memaksa media untuk memberitakan dengan wajar, sebaiknya jangan memberitahu hasil riset ke media, tetapi tulislah di jurnal ilmiah internasional yang mengalami proses peer review.

Terlalu dini merayakan kemenangan
Beberapa periset sering kali memberitahukan keberhasilan riset mereka terlalu dini, sebelum mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin belum terpikirkan oleh penulis untuk diuji. Sehingga pada suatu saat hasil risetnya tidak reproducible atau ditemukan kekurangan-kekurangannya, akhirnya yang dikorbankan adalah risetnya yang dihentikan bukan disempurnakan. Periset yang sudah terlanjur menikmati euphoria kemenangan dini lambat laun malah lupa dengan tujuan risetnya, energinya lebih banyak digunakan untuk mempertahankan eksistensi dirinya, bukan hasil akhir dari risetnya.

Pola pikir instant
Pola pikir instant sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan bagi publik NKRI. Penulis menyadari itu karena terkadang penulis juga begitu, tetapi sepanjang ada mental untuk berubah lebih baik, tentunya lambat laun kita dapat menguranginya. Seringkali para pemegang kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk “memaksakan” penggunaan hasil riset terlalu berpikir instant, bahwa sebuah hasil penelitian itu harus dapat segera diterapkan. Padahal sebuah teknologi yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia itu dihasilkan dari hasil penelitian bertahun-tahun, bahkan terkadang merupakan gabungan dari beberapa penemuan.

Sebenarnya masih banyak lagi masalah-masalah terkait dunia riset dan teknologi di NKRI. Kalau secara klise pastinya bisa disampaikan bahwa  “pernyataan kebijakan pemerintah yang medukung riset hanya retorika”. Tetapi rasanya sudah jenuh dengan itu, karena selalu saja kambing hitam segala masalah itu “pemerintah”. Padahal sudah beberapa kali berganti rezim pemerintahan, masih tetap saja begitu. 

Tuesday, 17 November 2015

2nd Autumn




November 2015 is my second autumn, many stories have been written, regarding my research, family and social life, and food.

Research
I belong to Laboratory of Reproductive Biology, Applied Bioscience Division, Graduate School of Agriculture Kyoto University. There are several research subject related to reproductive biology in our laboratory such as establishment of Induced Pluripotent Stem Cells (iPS cells) from somatic cells, study about formation of germ cells in mammals, study on generation and differentiation of fertilized egg, and other related basic reproductive science.  Here, my research topic is “Study on pluripotent stem cells established from bovine male germ cells”.
Study about Pluripotent Stem Cells from Primordial Germ Cell (PGC) is important to producing transgenic animal, cattle propagation, conservation of endangered species, and regenerative medicine.
There are lack of study about pluripotent characteristic of PGC in domestic species, so, this is remain a challenge to study about this unique stem cells and their mechanism of self-renewal in domestic species. My research purposes are to identify pluripotent stem cell from male bovine germ cells and its self-renewal mechanism.

Family and social life
I came to Kyoto, Japan on 29th September, 2014. My family ( my wife and my sons) came to Kyoto during spring 2015, several months after me. Like others, I was worried about starting a new life in a different country that I have never been before. As a newly arrived foreign student in Japan, it was very difficult to adjust in an unfamiliar environment and using a new language.
Indonesia and Japan are very different countries in many ways, not only in academic, scientific, and technology matters but in cultures and manners as well. Japan experiences extreme cold weather in the winter season that is never seen in Southeast Asia countries including Indonesia. The four seasons in Japan are marked by endless beauty and harmony.  
Within a short time, many Japanese people from outside and within my lab providing a friendly environment, these made my life much easier in Kyoto. I got much needed support from my professor, my lab mates and International friends for adjusting to my new surroundings.  Step by step, I started my life here to find an enjoyable stay and study.
There are many foreign students in Kyoto University who came from different parts of the globe.  Interacting with these multi-cultural students, as well as with the local people of Kyoto are kind of new experience that not only develop my knowledge but my insight about the world. One of the similarities I notice is that no matter where we are from, people are nice to foreigners. I can say same thing in Japan. The people help each other without thinking of nationality.
In  my opinion Kyoto is the miniature of Japanese culture, very nice city. We can see Kyoto with thousands of buddhist temple and shinto shrine scattered across the city, beautiful autumn, and incredible cherry blossom during spring. 

Food
Food culture is wonderful in Japan. Japanese cuisine made from meats, vegetables and fish. It is provide healthy diets to the people want to loss their weight. I was take part in several parties at the University and local restaurants and enjoyed delicious Japanese food as well as lively interactions with many students. As Muslims, I avoid some food such as alcohol, pork and meat. We really appreciated the respect and understanding shown by our Japanese friends towards our diet restriction. During parties with lab members and professors, I am provided with food I can eat. In many ways, the party becomes vegetarian, or a fish and seafood party since my friends know I cannot eat meat and pork. 
Last but not least my interactions with other foreign students and Japanese friends have enriched my appreciation of diversity of humanity and nature. I learned many things, it was not only academic, scientific, and technology matters but Japanese cultures, manners, and Japan natures.

Wednesday, 19 August 2015

Perdagingan Sapi menurut Tukang Sulap


Meskipun sudah berganti pemerintahan, tetapi topik daging sapi ini masih berlanjut. Memang masalah perdagingan cukup rumit. Mata rantai produksinya saja cukup rumit apalagi jika sudah dicampuradukan dengan urusan politik. Sepertinya negara (pemerintah dan sebagian besar rakyatnya) memang sedang salah fokus, Sehingga segala sesuatu fokusnya ke politik dari urusan daging, cara hormat bendera, cara beragama, atau apapun sepertinya tidak seru jika tidak dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Segala sesuatu yang salah dengan negara pasti pemerintah yang salah. Padahal negara yang baik warganya juga baik. Salah fokus ini juga yang akan secara tidak sadar membuat warga negara untuk: tidak fokus bekerja sesuai peran masing-masing, tidak fokus beribadah sesuai agama masing-masing, tidak fokus membangun diri dan keluarganya, atau bahkan tidak fokus terhadap kesalahannya sendiri. Dan jika memang benar ada pihak yang tidak senang jika Indonesia menjadi negara yang ideal, maju, dan teratur, maka mereka telah sukses dengan pertama-tama menjadikannya untuk tidak fokus. 

Industri perdagingan itu bukan seperti industri manufaktur, yang pabriknya artifisial yang jika ingin produksi lebih banyak tinggal memperbesar pabriknya dan menambah kapasitas produksi. Meningkatkan produksi  daging sapi juga lebih sulit dari meningkatkan produksi  beras, meskipun sama-sama industry biologis. Jika satu kilogram benih padi dapat menghasilkan ribuan pohon padi, maka dengan ekstensifikasi dan teknologi budi daya yang mumpuni produksi beras akan cepat naik. Tetapi beda dengan daging. Satu ekor sapi bakalan yang degemukan ya akan tetap satu sampai dia siap dipotong, bobot badannya saja yang naik. Satu ekor sapi betina ya hanya melahirkan rata-rata satu ekor anak pertahun. Itu baru lahir, belum menunggu dewasa hingga siap potong, belum memilah mana yang harus dikembangkan untuk bibit dan mana yang harus digemukan. Oleh karena itu, untuk swasembada daging harus sabar. Sementara diusahkan saja harus sabar, apalagi jika tidak diusahakan karena salah fokus.

Sementara kebutuhan daging dalam negeri belum tercukupi, impor memang masih diperlukan. Logikanya sederhana karena laju konsumsi lebih besar dari produksi (lebih banyak yang dipotong dari pada yang beranak), kalau tidak didatangkan daging dari luar, swasembada sulit tercapai.  Yang perlu dikaji itu, apa benar impor sapi merugikan peternak lokal atau tidak. Jika iya maka sementara kran impor dibuka, yang perlu ditolong yaitu para peternak lokal. Hal ini bisa menggunakan subsidi hasil akhir, jadi bukan peternak diberi bantuan bibit atau saprodi lagi, tetapi pemerintah membeli sapi-sapi dari peternakan rakyat dengan harga yang pantas melalui subsidi.

Kelangkaan daging sapi juga belum tentu dipicu dari adanya ulah pengusaha yang menimbun sapi. Kalau menimbun daging ada kemungkinan, sepanjang si pengusaha punya tempat menimbunnya, tapi kalau menimbun sapi sepertinya si pengusaha harus memiliki modal yang besar dan cukup berani mengambil resiko. Sapi itu bernyawa dan yang bernyawa itu butuh makan untuk hidup. Jadi untuk menimbun sapi butuh modal besar untuk mepertahankan agar sapi tetap hidup.

Kalau ada yang salah pada rantai pemasaran sapi dari peternak lokal malah mungkin benar, Karena berdasarkan pengalaman dulu sebagai peternak, kebijakan impor sapi atau daging itu tidak berpengaruh signifikan terhadap harga sapi ditingkat peternak. Bahkan ketika harga daging mahal pun belum tentu harga sapi dari peternak rakyat ikut naik.  Jadi semahal apapun harga daging, belum tentu peternak menikmati.

Kesimpulan dari tulisan si tukang sulap ini yaitu: 1) selama belum swasembada daging, impor sapi masih diperlukan (biar yang di dalam negeri beranak-pinak konsumsi dicukupi dari luar). 2) Untuk melindungi dan menjaga gairah peternak lokal, subsidi yang selama ini diberikan dalam bentuk bibit dapat dialihkan ke subsidi hasil.