Tuesday, 22 December 2015

Ibu, Anakmu Rindu

Hari ini rasanya hati sedikit mellow, memulai aktivitas partime job dari jam 6 pagi, lanjut dengan serangkaian eksperimen mengisolasi stem cell dari sel testis sapi, kemudian menjelang Isya diskusi cukup menguras otak dan perasaan dengan Pak Guru. Cukup lelah, tetapi masih belum seberapa jika dibanding kelelahan Ibuku, seorang pekerja keras sejati bagiku.

Setiap hari beliau bangun sebelum subuh, jam 4 pagi, bahkan seringnya sebelum itu. Beliau segera menyiapkan sarapan untuk kami, anak-anaknya, memastikan agar kami dapat menyantap sarapan ala kadarnya untuk memulai hari. Segera setelah subuh beliau berangkat ke pasar berbelanja barang-barang yang akan di jual di warung kecil milik keluarga kami. Harus sepagi itu, demi mendapatkan sayur yang lebih segar dan lebih beragam. Dari warung inilah ibu bertekad untuk mewujudkan mimpinya: MENYEKOLAHKAN ANAK-ANAKNYA SEMAMPUNYA, beliau dulu tidak punya kesempatan untuk mengenyang pendidikan. Ibu tidak pernah berharap dapat menumpuk materi dari warung kecilnya, Ibu hanya ingin memastikan agar anak-anaknya dapat sekolah. Sepulang dari pasar sekitar pukul 07.00-08.00 beliau tidak langsung istirahat, melainkan mulai membuka warungnya dan mulai berjualan hingga menjelang maghrib. Begitu rutinitas beliau setiap hari sampai sekarang. Usiaku sudah 31 tahun, tetapi rasanya aku tidak ingat kapan beliau memulai rutinitas tersebut, sudah berjalan puluhan tahun. Hebatnya lagi beliau menyekolahkan anak-anaknya hanya untuk jadi pintar, bukan jadi kaya. Meskipun keluarga kami sangat  sederhana, ibuku tidak “berdagang’ dalam menyekolahkan anak-anaknya. Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak itu agar menjadi pejabat, pemimpin, dan hal lain yang bernuansa materiil untuk masa depannya. Tetapi Ibuku hanya berpikiran menyekolahkan anak supaya pintar. Terserah mau jadi apa saja nantinya kalua sudah selesai sekolah, bahkan jika nantinya anaknya mau berjibaku dengan lumpur nyangkul disawah pun tidak masalah. Yang penting tukang nyangkul yang “pintar”. Bahkan ketika dulu aku senang mengutarakan cita-cita, ibuku selelu bilang “aja kegeden jangkah” (jangan terlalu bermimpi) cukup saja sekolah yang bener toh nantinya segala sesuatunya akan ikut dengan sendirinya “Gusti Allah ora sare/Allah tidak tidur”, kalimat retoris orang tua jawa.
Hal lain di antara ribuan memori tentang ibu, yang masih sangat kuingat dipikiranku yaitu ketika anak-anaknya hendak melakukan kesalahan-kesalahan seperti ingin mengambil hak orang lain. Ibuku selalu menakut-nakuti dengan kalimat “aja! Mengko diomehi Gusti Allah/ jangan, nanti dimarahi Allah”. Bukan dengan kalimat “ jangan nak nanti ayah marah, jangan nak nanti pemiliknya marah, atau kalimat lain yang menunjukan ketakutan terhadap makhluk”. Beliau tidak mengenal ilmu parenting, tidak juga memiliki ilmu agama yang mumpuni, tetapi beliau paham bahwa Allah itu Maha Tahu, sehingga dimanapun anaknya nanti berada akan selalu takut akan murka Allah jika ingin mengambil hak orang lain.
Sekarang, sepertinya mimpinya tidaklah hanya sekedar mimpi, mulai jadi kenyataan. Anak laki-lakinya sedang menyelesaikan program doctor di Kyoto University Jepang (teriring do’a Ibu semoga akan terselesaikan). Dan anak perempuannya juga sedang menyelesaikan program S1- nya di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Untuk orang-orang yang sudah terlahir nyaman, tentunya pencapaian seprerti ini itu hal biasa. Tapi bagi kedua orang tua kami, hal ini sudah sangat jauh melampai batas mimpi mereka.
Dihari ibu ini ingin rasanya pulang dan mencium kaki ibu, menceritakan kisah bahagia keluarga kecilku, mempertemukannya dengan cucu-cucunya yang sedang bertumbuh. Membiarkannya menikmati kegembiraan bersama cucu-cucunya. Tetapi itu tidak dapat kulakukan, kami terpisah jarak ribuan kilometer, hanya sesekali terhubung lewat telpon seluler atau koneksi internet ketika ada yang mengkoneksikan.
Ibu, anakmu rindu….

Kyoto, 22 Desember 2015

Friday, 4 December 2015

Riset yang "Menguap"

foto ilustrasi: kabur (@siyoyo)
Beberapa tahun lalu pernah ramai diberitakan tentang riset mengenai blue energy dimana air laut katanya dapat dikonversi jadi BBM, terlepas dari benar/tidaknya hasil penelitian yang jelas ujung-ujungnya “menguap”. Kemudain beberapa tahun setelahnya giliran riset mengenai pengembangan mobil listrik yang masuk ranah politik dan opini, ujung-ujungnya “menguap” juga. Dan yang terbaru yaitu riset mengenai ECVT yang dikembangkan oleh Dr. Warsito yang sepertinya lambat laun juga akan masuk ranah opini.  Di dalam riset itu sejatinya tidak ada opini, yang ada hanya hipotesis kemudian dibuktikan dengan data yang reliable.
Karena tulisan ini merupakan opini, jadi menurut opini penulis: riset itu terkadang kejam, bahasanya lugas singkat padat tegas, boleh salah tapi tidak boleh bohong, harus jauh dari kepentingan-kepentingan selain dari tujuan riset. Karena kekejamannya inilah terobosan-terobosan baru antimainsteam yang ditemukan dari hasil riset harus bijak dalam penyampainya, transparan. Transparan bukan berarti terbuka, hanya terlihat samar-samar, tidak menyampaikan hal-hal yang memang belum saatnya disampaikan.
Menguapnya beberapa riset potensial di NKRI, menurut opini penulis itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

Pemberitaan media yang berlebihan
Kekuatan pemberitaan media itu sangat ampuh sejak dulu. Tidak heran jika waktu pemberontakan PKI pada gerakan 30 September 1965, gerombolan ini mengambil alih RRI sebagai media yang cukup menjangkau pelosok negeri pada saat itu (maaf jika sejarah tentang PKI sejatinya melenceng atau memang sudah lurus tetapi mau dibelokan). Apalagi sekarang era dimana sangat mudah untuk menggiring opini public melalui media. Sering kali pemberitaan tentang sebuah hasil riset yang menjanjikan di NKRI itu terlalu berlebihan hanya demi mengejar rating berita. Sehingga ekspektasi public akan hasil riset tersebut sangat tinggi. Hal ini dapat menimbulkan “kebanggan semu”, jika suatu saat publik tau bahwa risetnya tidak setinggi ekspektasi mereka, maka respek terhadap si periset menurun, merugikan periset, dan akhirnya risetnya sendiri. Saran bagi periset di NKRI, jika tidak bisa memaksa media untuk memberitakan dengan wajar, sebaiknya jangan memberitahu hasil riset ke media, tetapi tulislah di jurnal ilmiah internasional yang mengalami proses peer review.

Terlalu dini merayakan kemenangan
Beberapa periset sering kali memberitahukan keberhasilan riset mereka terlalu dini, sebelum mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin belum terpikirkan oleh penulis untuk diuji. Sehingga pada suatu saat hasil risetnya tidak reproducible atau ditemukan kekurangan-kekurangannya, akhirnya yang dikorbankan adalah risetnya yang dihentikan bukan disempurnakan. Periset yang sudah terlanjur menikmati euphoria kemenangan dini lambat laun malah lupa dengan tujuan risetnya, energinya lebih banyak digunakan untuk mempertahankan eksistensi dirinya, bukan hasil akhir dari risetnya.

Pola pikir instant
Pola pikir instant sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan bagi publik NKRI. Penulis menyadari itu karena terkadang penulis juga begitu, tetapi sepanjang ada mental untuk berubah lebih baik, tentunya lambat laun kita dapat menguranginya. Seringkali para pemegang kebijakan yang memiliki kekuasaan untuk “memaksakan” penggunaan hasil riset terlalu berpikir instant, bahwa sebuah hasil penelitian itu harus dapat segera diterapkan. Padahal sebuah teknologi yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia itu dihasilkan dari hasil penelitian bertahun-tahun, bahkan terkadang merupakan gabungan dari beberapa penemuan.

Sebenarnya masih banyak lagi masalah-masalah terkait dunia riset dan teknologi di NKRI. Kalau secara klise pastinya bisa disampaikan bahwa  “pernyataan kebijakan pemerintah yang medukung riset hanya retorika”. Tetapi rasanya sudah jenuh dengan itu, karena selalu saja kambing hitam segala masalah itu “pemerintah”. Padahal sudah beberapa kali berganti rezim pemerintahan, masih tetap saja begitu. 

Tuesday, 17 November 2015

2nd Autumn




November 2015 is my second autumn, many stories have been written, regarding my research, family and social life, and food.

Research
I belong to Laboratory of Reproductive Biology, Applied Bioscience Division, Graduate School of Agriculture Kyoto University. There are several research subject related to reproductive biology in our laboratory such as establishment of Induced Pluripotent Stem Cells (iPS cells) from somatic cells, study about formation of germ cells in mammals, study on generation and differentiation of fertilized egg, and other related basic reproductive science.  Here, my research topic is “Study on pluripotent stem cells established from bovine male germ cells”.
Study about Pluripotent Stem Cells from Primordial Germ Cell (PGC) is important to producing transgenic animal, cattle propagation, conservation of endangered species, and regenerative medicine.
There are lack of study about pluripotent characteristic of PGC in domestic species, so, this is remain a challenge to study about this unique stem cells and their mechanism of self-renewal in domestic species. My research purposes are to identify pluripotent stem cell from male bovine germ cells and its self-renewal mechanism.

Family and social life
I came to Kyoto, Japan on 29th September, 2014. My family ( my wife and my sons) came to Kyoto during spring 2015, several months after me. Like others, I was worried about starting a new life in a different country that I have never been before. As a newly arrived foreign student in Japan, it was very difficult to adjust in an unfamiliar environment and using a new language.
Indonesia and Japan are very different countries in many ways, not only in academic, scientific, and technology matters but in cultures and manners as well. Japan experiences extreme cold weather in the winter season that is never seen in Southeast Asia countries including Indonesia. The four seasons in Japan are marked by endless beauty and harmony.  
Within a short time, many Japanese people from outside and within my lab providing a friendly environment, these made my life much easier in Kyoto. I got much needed support from my professor, my lab mates and International friends for adjusting to my new surroundings.  Step by step, I started my life here to find an enjoyable stay and study.
There are many foreign students in Kyoto University who came from different parts of the globe.  Interacting with these multi-cultural students, as well as with the local people of Kyoto are kind of new experience that not only develop my knowledge but my insight about the world. One of the similarities I notice is that no matter where we are from, people are nice to foreigners. I can say same thing in Japan. The people help each other without thinking of nationality.
In  my opinion Kyoto is the miniature of Japanese culture, very nice city. We can see Kyoto with thousands of buddhist temple and shinto shrine scattered across the city, beautiful autumn, and incredible cherry blossom during spring. 

Food
Food culture is wonderful in Japan. Japanese cuisine made from meats, vegetables and fish. It is provide healthy diets to the people want to loss their weight. I was take part in several parties at the University and local restaurants and enjoyed delicious Japanese food as well as lively interactions with many students. As Muslims, I avoid some food such as alcohol, pork and meat. We really appreciated the respect and understanding shown by our Japanese friends towards our diet restriction. During parties with lab members and professors, I am provided with food I can eat. In many ways, the party becomes vegetarian, or a fish and seafood party since my friends know I cannot eat meat and pork. 
Last but not least my interactions with other foreign students and Japanese friends have enriched my appreciation of diversity of humanity and nature. I learned many things, it was not only academic, scientific, and technology matters but Japanese cultures, manners, and Japan natures.

Wednesday, 19 August 2015

Perdagingan Sapi menurut Tukang Sulap


Meskipun sudah berganti pemerintahan, tetapi topik daging sapi ini masih berlanjut. Memang masalah perdagingan cukup rumit. Mata rantai produksinya saja cukup rumit apalagi jika sudah dicampuradukan dengan urusan politik. Sepertinya negara (pemerintah dan sebagian besar rakyatnya) memang sedang salah fokus, Sehingga segala sesuatu fokusnya ke politik dari urusan daging, cara hormat bendera, cara beragama, atau apapun sepertinya tidak seru jika tidak dikaitkan dengan politik dan pemerintahan. Segala sesuatu yang salah dengan negara pasti pemerintah yang salah. Padahal negara yang baik warganya juga baik. Salah fokus ini juga yang akan secara tidak sadar membuat warga negara untuk: tidak fokus bekerja sesuai peran masing-masing, tidak fokus beribadah sesuai agama masing-masing, tidak fokus membangun diri dan keluarganya, atau bahkan tidak fokus terhadap kesalahannya sendiri. Dan jika memang benar ada pihak yang tidak senang jika Indonesia menjadi negara yang ideal, maju, dan teratur, maka mereka telah sukses dengan pertama-tama menjadikannya untuk tidak fokus. 

Industri perdagingan itu bukan seperti industri manufaktur, yang pabriknya artifisial yang jika ingin produksi lebih banyak tinggal memperbesar pabriknya dan menambah kapasitas produksi. Meningkatkan produksi  daging sapi juga lebih sulit dari meningkatkan produksi  beras, meskipun sama-sama industry biologis. Jika satu kilogram benih padi dapat menghasilkan ribuan pohon padi, maka dengan ekstensifikasi dan teknologi budi daya yang mumpuni produksi beras akan cepat naik. Tetapi beda dengan daging. Satu ekor sapi bakalan yang degemukan ya akan tetap satu sampai dia siap dipotong, bobot badannya saja yang naik. Satu ekor sapi betina ya hanya melahirkan rata-rata satu ekor anak pertahun. Itu baru lahir, belum menunggu dewasa hingga siap potong, belum memilah mana yang harus dikembangkan untuk bibit dan mana yang harus digemukan. Oleh karena itu, untuk swasembada daging harus sabar. Sementara diusahkan saja harus sabar, apalagi jika tidak diusahakan karena salah fokus.

Sementara kebutuhan daging dalam negeri belum tercukupi, impor memang masih diperlukan. Logikanya sederhana karena laju konsumsi lebih besar dari produksi (lebih banyak yang dipotong dari pada yang beranak), kalau tidak didatangkan daging dari luar, swasembada sulit tercapai.  Yang perlu dikaji itu, apa benar impor sapi merugikan peternak lokal atau tidak. Jika iya maka sementara kran impor dibuka, yang perlu ditolong yaitu para peternak lokal. Hal ini bisa menggunakan subsidi hasil akhir, jadi bukan peternak diberi bantuan bibit atau saprodi lagi, tetapi pemerintah membeli sapi-sapi dari peternakan rakyat dengan harga yang pantas melalui subsidi.

Kelangkaan daging sapi juga belum tentu dipicu dari adanya ulah pengusaha yang menimbun sapi. Kalau menimbun daging ada kemungkinan, sepanjang si pengusaha punya tempat menimbunnya, tapi kalau menimbun sapi sepertinya si pengusaha harus memiliki modal yang besar dan cukup berani mengambil resiko. Sapi itu bernyawa dan yang bernyawa itu butuh makan untuk hidup. Jadi untuk menimbun sapi butuh modal besar untuk mepertahankan agar sapi tetap hidup.

Kalau ada yang salah pada rantai pemasaran sapi dari peternak lokal malah mungkin benar, Karena berdasarkan pengalaman dulu sebagai peternak, kebijakan impor sapi atau daging itu tidak berpengaruh signifikan terhadap harga sapi ditingkat peternak. Bahkan ketika harga daging mahal pun belum tentu harga sapi dari peternak rakyat ikut naik.  Jadi semahal apapun harga daging, belum tentu peternak menikmati.

Kesimpulan dari tulisan si tukang sulap ini yaitu: 1) selama belum swasembada daging, impor sapi masih diperlukan (biar yang di dalam negeri beranak-pinak konsumsi dicukupi dari luar). 2) Untuk melindungi dan menjaga gairah peternak lokal, subsidi yang selama ini diberikan dalam bentuk bibit dapat dialihkan ke subsidi hasil. 

Tuesday, 28 April 2015

Cerita-Cerita Citra


Sebagian orang yang menempuh studi di luar negeri banyak menuangkan tulisannya dalam blog. Alasannya, mungkin sekedar untuk mengisi waktu, mengatasi rasa rindu dengan kampung halaman, berbagi ilmu, ingin sharing (pada kondisi tertentu bisa juga dikatakan pamer sih), sedang belajar menulis, ingin menunjukkan eksistensinya, atau hanya ingin curhat. Terlepas dari berbagai macam alasan yang dipakai, positif ataupun negative, saya banyak menggunakan tulisan – tulisan di blog sebagai referensi tentang kehidupan di luar negeri. Pengalaman-pengalaman yang dituliskan di blog lebih nyata, dan terkadang informasi yang diberikan lebih detail menyangkut hal – hal kecil. Dan sekarang saya juga mulai menulis blog lagi setelah vakum sekian lama karena disibukan dengan aktifitas menulis yang lain seperti menulis sms, status dan chating di media social. Tulisan saya kali ini bergaya santai tapi semoga saja ada pesan moralnya, kalau tidak ada jangan dipaksakan, tidak usah repot-repot. Itung-itung lagi belajar nulis, dari pada saya belajar nyopet?
Sejak lahir saya dibesarkan di negeri kaya Indonesia, bahkan kata Koes Plus yang ada di negeri sana bukan lautan hanya kolam susu,  tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Tetapi apakah kata koes plus itu benar? Atau hanya sekedar pencitraan? (hihi… akhirnya kena juga ni kata pencitraan, dari tadi bikin paragraph pembuka susah amat) Memang tulisan saya kali ini menganai pencitraan, negeri citra. Sebuah negeri yang banyak dihuni citra. Bukan citra sekolastika, tapi orang-orang yang dibuai dengan citra, bersusah payah membangun citra dengan bergai dalih.
Awalnya saya ingin mencarai definisi citra terlabih dahulu di literature yang dapat dipercaya, agar tulisan ini berbobot. Tapi kelamaan, bisa-bisa sampai si citra nikah tulisan ini belum jadi, toh kalo cuman ingin berbobot tinggal di tulis di batu aja ntar malah bisa diasah jadi batu akik.
Ya sudahlah, citra saya tulis berdasar kaca mata saya (padahal aslinya nggak pake kacamata lho). Definisi pencitraan menurut Cumplung et. ol. (2015) adalah membuat orang lain terkesan dengan apa yang kita lakukan, berusaha mempengaruhi orang lain agar diri dinilai baik, pamrih dan terkadang penuh tindakan kepalsuan. Sebenarnya susah juga sih mendifinisikan pencintraan dengan kata-kata bagi saya, terkadang batasannya tipis banget antara positif dan negatif, tapi saya yakin dengan naluri kebaikan yang ada di setiap jiwa manusia pada dasarnya setiap manusia tahu apakah tidakan yang dilakukannya itu sebatas pencitraan atau memang didorong keihklasan dan ketulusan dalam Bahasa kerennya mungkin altruistic.
Langsung sajalah, susah nyari paragraph yang bagus lagi, berikut beberapa kasus pencitraan yang dapat saya rangkum dari TKP:

Pencitraan dunia pendidikan
Pendidikan itu membangun sumeberdaya manusia, dan membangun sumberdaya manusia itu lebih sulit dari pada membangun jembatan atau rumah. Sulit sih, tetapi pembangunan SDM merupakan yang paling mendasar. Tanpa mengesampingkan jasa-jasa guru, dosen, dan tenaga pendidik yang sudah dengan penuh keikhlasan mendidik setiap anak bangsa, kali ini saya menyampaikan bahwa dalam beberapa hal, pendidikan kita adalah pencitraan.
Pertama, ketika kurikulum mengajarkan para siswa untuk berlaku jujur, justru ajaran kejujuran selama 6 tahun atau 3 tahun harus runtuh dalam seminggu hanya karena mengejar nilai Ujian Nasional. Dengan dalih bukan hanya muridnya saja yang malu jika siswanya tidak lulus, tetapi citra guru, citra kepala dinas, citra orang tua akan hancur jika ada ketidaklulusan disekolahnya. Maka demi pencitraan ada oknum orang tua dan guru yang membolehkan ketidak jujuran, mencontek, menyebarkan soal bocoran, atau bahkan depelosok negeri yang tak terpantau gurunya yang mengerjakan soalnya.
Kedua, kurikulum pendidikan kita masih  dipenuhi dengan pencitraan. Pengalaman saya ketika sekolah, setiap hari dijejali dengan rumus-rumus, teori-teori, definisi-definisi-, istilah-istilah, yang begitu banyakyang terpaksa dalam beberapa pelajaran harus dihafal tanpa dipahami. Luar biasa memang anak Indonesia, ibarat burung pelajaran yang diberikan bukan hanya bagaimana caranya terbang, tapi bagaimana menyelam, berenang, berlari. Anak-anak Indoesia juga banyak yang luar biasa, dalam hampir di setiap olimpiade sains internasional selalu ada saja yang dapat medali. Tetapi herannya, setelah diri inimulai menua (anaknya dua) dan masih harus sekolah mencari literature yang dihasilkan pemikir-pemikir dalam negeri ternyata susah, jumlah pemikir-pemikir dari Indonesia ternyata sangat terbatas, publikasi internasional para peneliti Indonesia terbatas, hak paten para peneiliti Indonesia terbatas. Saya pikir kesalahan yang mendasar bukan teori-teorinya, rumus-rumusnya, atau definisi-definisinya. Tetapi pada cara pengajaranya yang masih banyak cara pencitraan, dimana citra dibangun dengan tingginya nilai akhir, nilai ulangan, dll. Jadi yang dikembangkan bukan pola berpikir analitis siswa, tapi pola mendapatkan nilai angka, bukan nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran.

Media sarang Pencitraan
Media memegang peranan penting dalam membangun citra. Jika bermaksud untuk membangun citra, yang paling cepat ya lewat media. Tidak harus lewat TV, koran, atau majalah. Dengan berbekal koneksi internet saja sudah cukup untuk membangun citra (seperti saya ini, tapi semoga saja niat saya bukan untuk pencitraan). Banyak media abal-abal yang dibentuk khusus untuk membangun citra. Dan ketidaksiapan pembaca media terkadang seseorang begitu saja mempercayai berita dari media apapun tanpa mengecek terlebih dahulu. Bahkan ada yang lebih parah, hanya dengan membaca judulnya saja sudah terpengaruh begitu dalam.
Dalam lingkup yang lebih sempit, pencitraan individu, media social menjadi alat paling jitu bagi program pencitraan. Seringkali beberapa orang terpeleset dengan sesautu yang diposting di media social, contoh sederhananya ada beberapa orang yang bermaksud untuk sharing kegiatan ibadahnya justru malah terjebak dalam aktifitas riya dan pencitraan. Tidak jarang di media social sering muncul kalimat “ Alhamdulillah… meskipun mesjidnya jauh dan hari hujan tapi tetap semangat untuk sholat jumat” atau bahkan kalimat “kasihan sekali tadi lihat nenek tua masih harus jualan kue, semoga uang saya tadi bermanfaat meskpipun cuma sepuluh ribu”. Kalau membaca ini terkadang saya ingat istilah teman kantor saya (Pak Muzammil) yaitu merendah di atas bukit, jadi orang terlihat merendah tetapi tujuannya itu agar orang menilai betapa tingginya bukit miliknya. Sebenarnya sangat sulit menilai negative atau positif postingan tadi, tergantung dari tujuan hati si penulis, apakah untuk pencitraan, atau karena ingin sharing agar orang lain melakukan kebaikan yang sama. Jadi hati-hati, batas positif dan negatifnya sangat tipis.

Banyak lagi sih cerita tentang citra dengan pencitraanya. Tapi dari pada nanti terkesan saya sedang menceritakan citra diri bisa nulis banyak, maka sekian dulu ceritera-ceritera pencitraan saya. Semoga saja saya dan kita semua dihindarkan dari pencitraan, kecuali bagi yang memiliki pasangan bernama citra semoga didekatkan selalu pen-citraanya….
Semoga ketulusan dan keihklasan selalu menjadi dasar dari perbuatan kita….Aamiin…