Sebagian orang yang menempuh studi di luar negeri banyak menuangkan
tulisannya dalam blog. Alasannya, mungkin sekedar untuk mengisi waktu, mengatasi
rasa rindu dengan kampung halaman, berbagi ilmu, ingin sharing (pada kondisi
tertentu bisa juga dikatakan pamer sih), sedang belajar menulis, ingin menunjukkan
eksistensinya, atau hanya ingin curhat. Terlepas
dari berbagai macam alasan yang dipakai, positif ataupun negative, saya banyak menggunakan
tulisan – tulisan di blog sebagai referensi tentang kehidupan di luar negeri. Pengalaman-pengalaman
yang dituliskan di blog lebih nyata, dan terkadang informasi yang diberikan
lebih detail menyangkut hal – hal kecil. Dan sekarang saya juga mulai menulis
blog lagi setelah vakum sekian lama karena disibukan dengan aktifitas menulis
yang lain seperti menulis sms, status dan chating di media social. Tulisan saya
kali ini bergaya santai tapi semoga saja ada pesan moralnya, kalau tidak ada jangan
dipaksakan, tidak usah repot-repot. Itung-itung lagi belajar nulis, dari pada saya belajar nyopet?
Sejak lahir saya dibesarkan di negeri kaya Indonesia, bahkan
kata Koes Plus yang ada di negeri sana bukan lautan hanya kolam susu, tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Tetapi
apakah kata koes plus itu benar? Atau hanya sekedar pencitraan? (hihi… akhirnya
kena juga ni kata pencitraan, dari tadi bikin paragraph pembuka susah amat) Memang
tulisan saya kali ini menganai pencitraan, negeri citra. Sebuah negeri yang
banyak dihuni citra. Bukan citra sekolastika, tapi orang-orang yang dibuai
dengan citra, bersusah payah membangun citra dengan bergai dalih.
Awalnya saya ingin mencarai definisi citra terlabih dahulu
di literature yang dapat dipercaya, agar tulisan ini berbobot. Tapi kelamaan, bisa-bisa
sampai si citra nikah tulisan ini belum jadi, toh kalo cuman ingin berbobot
tinggal di tulis di batu aja ntar malah bisa diasah jadi batu akik.
Ya sudahlah, citra saya tulis berdasar kaca mata saya
(padahal aslinya nggak pake kacamata lho). Definisi pencitraan menurut Cumplung et. ol. (2015) adalah membuat orang lain terkesan dengan apa yang kita lakukan, berusaha
mempengaruhi orang lain agar diri dinilai baik, pamrih dan terkadang penuh tindakan
kepalsuan. Sebenarnya susah juga sih mendifinisikan pencintraan dengan
kata-kata bagi saya, terkadang batasannya tipis banget antara positif dan negatif,
tapi saya yakin dengan naluri kebaikan yang ada di setiap jiwa manusia pada
dasarnya setiap manusia tahu apakah tidakan yang dilakukannya itu sebatas
pencitraan atau memang didorong keihklasan dan ketulusan dalam Bahasa kerennya
mungkin altruistic.
Langsung sajalah, susah nyari paragraph yang bagus lagi, berikut
beberapa kasus pencitraan yang dapat saya rangkum dari TKP:
Pencitraan dunia pendidikan
Pendidikan itu membangun sumeberdaya
manusia, dan membangun sumberdaya manusia itu lebih sulit dari pada membangun
jembatan atau rumah. Sulit sih, tetapi pembangunan SDM merupakan yang paling
mendasar. Tanpa mengesampingkan jasa-jasa guru, dosen, dan tenaga pendidik yang
sudah dengan penuh keikhlasan mendidik setiap anak bangsa, kali ini saya menyampaikan
bahwa dalam beberapa hal, pendidikan kita adalah pencitraan.
Pertama, ketika kurikulum mengajarkan para
siswa untuk berlaku jujur, justru ajaran kejujuran selama 6 tahun atau 3 tahun
harus runtuh dalam seminggu hanya karena mengejar nilai Ujian Nasional. Dengan
dalih bukan hanya muridnya saja yang malu jika siswanya tidak lulus, tetapi
citra guru, citra kepala dinas, citra orang tua akan hancur jika ada
ketidaklulusan disekolahnya. Maka demi pencitraan ada oknum orang tua dan guru
yang membolehkan ketidak jujuran, mencontek, menyebarkan soal bocoran, atau
bahkan depelosok negeri yang tak terpantau gurunya yang mengerjakan soalnya.
Kedua, kurikulum pendidikan kita masih dipenuhi dengan pencitraan. Pengalaman saya ketika
sekolah, setiap hari dijejali dengan rumus-rumus, teori-teori, definisi-definisi-,
istilah-istilah, yang begitu banyakyang terpaksa dalam beberapa pelajaran harus
dihafal tanpa dipahami. Luar biasa memang anak Indonesia, ibarat burung
pelajaran yang diberikan bukan hanya bagaimana caranya terbang, tapi bagaimana
menyelam, berenang, berlari. Anak-anak Indoesia juga banyak yang luar biasa, dalam
hampir di setiap olimpiade sains internasional selalu ada saja yang dapat
medali. Tetapi herannya, setelah diri inimulai menua (anaknya dua) dan masih
harus sekolah mencari literature yang dihasilkan pemikir-pemikir dalam negeri ternyata
susah, jumlah pemikir-pemikir dari Indonesia ternyata sangat terbatas,
publikasi internasional para peneliti Indonesia terbatas, hak paten para
peneiliti Indonesia terbatas. Saya pikir kesalahan yang mendasar bukan
teori-teorinya, rumus-rumusnya, atau definisi-definisinya. Tetapi pada cara
pengajaranya yang masih banyak cara pencitraan, dimana citra dibangun dengan tingginya
nilai akhir, nilai ulangan, dll. Jadi yang dikembangkan bukan pola berpikir
analitis siswa, tapi pola mendapatkan nilai angka, bukan nilai-nilai kehidupan
seperti kejujuran.
Media sarang Pencitraan
Media memegang peranan penting dalam
membangun citra. Jika bermaksud untuk membangun citra, yang paling cepat ya
lewat media. Tidak harus lewat TV, koran, atau majalah. Dengan berbekal koneksi
internet saja sudah cukup untuk membangun citra (seperti saya ini, tapi semoga
saja niat saya bukan untuk pencitraan). Banyak media abal-abal yang dibentuk
khusus untuk membangun citra. Dan ketidaksiapan pembaca media terkadang
seseorang begitu saja mempercayai berita dari media apapun tanpa mengecek
terlebih dahulu. Bahkan ada yang lebih parah, hanya dengan membaca judulnya
saja sudah terpengaruh begitu dalam.
Dalam lingkup yang lebih sempit, pencitraan
individu, media social menjadi alat paling jitu bagi program pencitraan.
Seringkali beberapa orang terpeleset dengan sesautu yang diposting di media social,
contoh sederhananya ada beberapa orang yang bermaksud untuk sharing kegiatan
ibadahnya justru malah terjebak dalam aktifitas riya dan pencitraan. Tidak
jarang di media social sering muncul kalimat “ Alhamdulillah… meskipun
mesjidnya jauh dan hari hujan tapi tetap semangat untuk sholat jumat” atau
bahkan kalimat “kasihan sekali tadi lihat nenek tua masih harus jualan kue,
semoga uang saya tadi bermanfaat meskpipun cuma sepuluh ribu”. Kalau membaca ini
terkadang saya ingat istilah teman kantor saya (Pak Muzammil) yaitu merendah di
atas bukit, jadi orang terlihat merendah tetapi tujuannya itu agar orang
menilai betapa tingginya bukit miliknya. Sebenarnya sangat sulit menilai negative
atau positif postingan tadi, tergantung dari tujuan hati si penulis, apakah
untuk pencitraan, atau karena ingin sharing agar orang lain melakukan kebaikan
yang sama. Jadi hati-hati, batas positif dan negatifnya sangat tipis.
Banyak lagi sih cerita tentang citra dengan
pencitraanya. Tapi dari pada nanti terkesan saya sedang menceritakan citra diri bisa
nulis banyak, maka sekian dulu ceritera-ceritera pencitraan saya. Semoga saja saya dan kita semua
dihindarkan dari pencitraan, kecuali bagi yang memiliki pasangan bernama citra
semoga didekatkan selalu pen-citraanya….
Semoga ketulusan dan keihklasan selalu
menjadi dasar dari perbuatan kita….Aamiin…